Latest Article
Masa Minggu Biasa 1 (Minggu, 29 Mei 2016)

Masa Minggu Biasa 1 (Minggu, 29 Mei 2016)

Keramahan Allah kepada Orang-orang Asing

1Raj. 8:22-23, 41-43; Mzm. 96:1-9; Gal. 1:1-12; Luk. 7:1-10

 

Teks Lukas 7:1-10 dan Kitab 1 Raja-raja 8:22-23, 41-43 berfokus pada kepedulian kepada orang asing. Lukas 7:1-10 sikap Yesus yang peduli kepada seorang perwira bangsa Romawi di Kapernaum. Sedangkan kesaksian Kitab 1 Raja-raja 8:22-23, 41-43 merupakan permohonan doa Salomo untuk orang-orang asing yang datang ke Bait Allah. Secara umum seseorang akan dianggap sebagai orang asing apabila dia bukan penduduk asli/pribumi dari suatu wilayah, atau seseorang yang berasal dari luar komunitas penduduk tersebut. Karena itu kedudukan orang asing umumnya dianggap sebagai kelompok minoritas dengan hak-hak yang terbatas. Dalam konteks sebagai kelompok minoritas dengan hak-hak terbatas, orang asing sering diperlakukan secara diskriminatif.

Bagaimanakah sikap Alkitab terhadap orang-orang asing? Apakah mereka mendapat perlakuan yang diskriminatif karena kedudukan mereka yang minoritas secara sosial politis? Di Kitab 1 Raja-raja pasal 8 secara khusus Salomo menaikkan Doa Syafaat untuk orang-orang asing.

Konteks doa Salomo di Kitab 1 Raja-raja 8 adalah penahbisan Bait Allah yang dilakukan oleh Raja Salomo. Bait Allah di Yerusalem akhirnya selesai dibangun. Penahbisan Bait Allah dilaksanakan pada hari raya di bulan Etanim. Dalam ibadah penahbisan Bait Allah tersebut, Tabut Allah diangkut oleh para Imam dan orang-orang Lewi dari Kemah Pertemuan untuk dipindah ke Bait Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang disimbolkan dalam Tabut Perjanjian tersebut telah berada dalam Bait Allah. Tuhan semesta alam (Yahweh Zebaoth) berkenan diam di tengah-tengah umat-Nya. Sikap iman tersebut dihayati dengan kesadaran bahwa sesungguhnya tidak ada tempat di manapun di alam semesta ini dapat menampung diri Allah. Di Kitab 1 Raja-raja 8:27 menyatakan: “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.” Karena itu doa-doa yang dipanjatkan umat kepada Allah tidak meniadakan tempat keberadaan Allah yang sesungguhnya, yaitu Sorga.

Dalam setiap doanya Salomo senantiasa menyebut: “Engkau juga yang mendengarnya di tempat kediaman-Mu di sorga” (1Raj. 8:30, 32, 34, 36, 39, 43, 45). Dengan demikian transendensi Allah yang melampaui seluruh ruang dan waktu tidak direlatifkan dengan kehadiran-Nya secara simbolis dalam Bait bersama Tabut-Nya. Pada pihak lain imanensi Allah yang dinyatakan dalam kehadiran Tabut Perjanjian di Bait Allah tidak membatasi transendensi Allah yang melampaui seluruh alam semesta. Di dalam doa yang dilandasi oleh iman, transendensi dan imanensi-Nya Allah berkenan menjumpai manusia dengan rahmat-Nya yang memulihkan dan menyelamatkan.

Kepedulian Allah terhadap persoalan dan pergumulan orang-orang asing dinyatakan dalam doa Salomo, yaitu: “Maka Engkaupun kiranya mendengarkannya di sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau kiranya bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu, sehingga mereka takut akan Engkau sama seperti umat-Mu Israel dan sehingga mereka tahu, bahwa nama-Mu telah diserukan atas rumah yang telah kudirikan ini” (1Raj. 8:43). Salomo memohon kepada Allah berkenan mendengarkan doa-doa yang dipanjatkan orang-orang asing yang datang ke Bait-Nya dengan tujuan: “supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu, sehingga mereka takut akan Engkau sama seperti umat-Mu Israel dan sehingga mereka tahu, bahwa nama-Mu telah diserukan atas rumah yang telah kudirikan ini.” Kepedulian Allah dalam doa Salomo ini menekankan aspek keramahan Allah kepada segala bangsa. Yahweh adalah Allah yang ramah kepada segala bangsa sehingga Ia bersedia mendengarkan doa-doa yang mereka panjatkan. Mata Yahweh tertuju kepada orang-orang asing yang menderita dan tertindas.Pokok-pokok doa yang dipanjatkan Salomo dalam ibadah Penahbisan Allah meliputi: kesalahan seseorang kepada temannya, kekalahan umat menghadapi musuh, umat mengalami kekeringan sebab tidak ada hujan, kelaparan dan berbagai macam penyakit, orang asing yang menaikkan doa, umat ditawan musuh. Inti dari doa-doa syafaat Salomo adalah penderitaan yang disebabkan oleh dosa dan kesalahan umat sehingga Allah menghukum mereka dan kepedulian terhadap orang asing. Dengan demikian inti dari seluruh doa Salomo adalah permohonan akan kepedulian Allah dalam rahmat-Nya terhadap umat dan orang-orang asing. Tujuan utama ibadah Penahbisan Bait Allah adalah mengimani Allah adalah Tuhan yang begitu peduli terhadap umat dan orang-orang asing yang datang ke hadirat-Nya. Karena itu dengan rahmat-Nya Allah berkenan terbuka mendengarkan doa-doa umat yang dipanjatkan di Bait-Nya, yaitu: “Kiranya mata-Mu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam, terhadap tempat yang Kaukatakan: nama-Ku akan tinggal di sana; dengarkanlah doa yang hamba-Mu panjatkan di tempat ini” (1Raj. 8:29). Hakikat Allah yang peduli dinyatakan dengan mata Allah yang senantiasa terbuka terhadap Bait-Nya siang dan malam. Mata Allah yang selalu melihat ke arah realitas kehidupan umat dengan segala pergumulannya, sebab di dalam Bait-Nya “nama Yahweh” senantiasa hadir. Dengan demikian arah pandangan mata Yahweh bukan hanya tertuju kepada umat-Nya Israel, tetapi juga kepada setiap orang termasuk orang-orang asing.

Dalam Perjanjian Lama keberadaan orang asing digolongkan ke dalam empat bagian, yaitu: ger, tosyav, zur dan nokri.

  1. Makna “ger” adalah orang asing
  2. Makna “tosyav” adalah kaum pendatang (imigran)
  3. Makna “zur” adalah orang luar (bukan dalam kelompok kaum Harun, orang-orang Lewi dan dua belas suku Israel)
  4. Makna “nokri” adalah orang-orang yang bukan termasuk umat Israel

Bagaimanakah sikap yang diperintahkan Allah kepada orang-orang asing dalam kelompok “ger” (orang asing), “tosyav” (kaum pendatang), “zur” (orang luar/orang awam), dan “nokri” (orang-orang bukan umat Israel)?

Sikap Allah terhadap “ger” (orang asing) dinyatakan dalam Imamat 19:33-34, yaitu: “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.” Makna kata “ger” adalah siapapun yang tinggal sebagai penduduk asing di luar negeri asalnya. Karena itu Abraham, Ishak dan Yakub serta umat Israel pernah disebut sebagai “ger” sebab mereka pada awalnya adalah pendatang. Dalam Septuaginta (LXX) kata “ger” diterjemahkan menjadi “proselit” (dari kata proselutos). Dalam pengadilan, kaum “ger” wajib mendapat perlakuan yang adil sama seperti hak umat Israel. Di Ulangan 1:16 Allah berfirman:

“Dan pada waktu itu aku memerintahkan kepada para hakimmu, demikian: Berilah perhatian kepada perkara-perkara di antara saudara-saudaramu dan berilah keputusan yang adil di dalam perkara-perkara antara seseorang dengan saudaranya atau dengan orang asing yang ada padanya.”

Sikap Allah terhadap “tosyav” (kaum pendatang) untuk menunjuk pada penduduk asing yang bermukim di tengah-tengah umat Israel. Dalam Kejadian 20:15 saat Abraham menjadi “tosyav” (pendatang) di Gerar, Raja Abimelekh menyambut Abraham dengan berkata: “Negeriku ini terbuka untuk engkau; menetaplah, di mana engkau suka.” Namun “tosyav” (pendatang) tidak boleh makan Perjamuan Paskah apabila mereka belum disunat sesuai ketetapan Hukum Musa (Kel. 12:45; Im. 22:10). Namun kaum “tosyav” dan keturunannya dapat menikmati manfaat Tahun Sabat dan Tahun Yobel (Im. 25:6, 12).

Sikap Allah terhadap “zur” (orang luar atau awam) menunjuk pada hak dan wewenang yang bersifat khusus dalam jabatan keimaman. Jabatan Imam Besar dipercayakan kepada Harun dan keluarganya (Kel. 28:1-3), dan para imam dipercayakan kepada kaum Lewi (Bil. 1:49, 50, 53). Karena itu terjemahan kaum “zur” (atau zar) adalah orang-orang awam. Imamat 22:10 menyatakan: “Setiap orang awam janganlah memakan persembahan kudus; demikian juga pendatang yang tinggal pada imam ataupun orang upahan.” Kaum “zur” adalah umat Israel di luar suku Lewi dan keturunan Harun. Dengan demikian sikap Allah terhadap kaum “zur” adalah mengakui keberadaan dan hak-hak mereka secara umum, tetapi tidak diizinkan melakukan tugas-tugas khusus dalam jabatan Imam Besar dan para Imam.

Sikap Allah terhadap “nokri” (orang-orang bukan umat Israel) menunjuk pada orang-orang dari bangsa di sekitar umat Israel misal orang-orang Kanaan (Hak. 2:2-3). Kaum “nokri” dalam praktik diikutsertakan dalam berbagai bidang kehidupan umat Israel, misal mereka sebagai pedagang dan perajin (Yeh. 27:3, 17), buruh upahan dalam membangun negeri di Tanah Perjanjian (Im. 22:10), dan para prajurit. Di Kitab 2 Samuel 15:18 disebut “semua orang Kreti dan semua orang Pleti. Juga semua orang Gat, enam ratus orang banyaknya, yang mengiringi dia sejak dari Gat, berjalan melewati raja.” Dengan demikian dari kaum “nokri” yaitu orang-orang Kreti, Pleti dan Gat dapat menjadi para prajurit dalam Kerajaan Israel.

Dalam Perjanjian Baru, orang asing disebut dengan “xenos” untuk menunjuk secara khusus orang-orang yang tidak dikenal. Surat Ibrani 13:2 menyatakan: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” Di Matius 25:38, 40 Yesus mengidentikkan perlakuan umat kepada “xenos” dengan diri-Nya, yaitu: “Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?” Lalu Yesus memberi jawaban: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Dengan demikian baik Allah dalam Perjanjian Lama maupun Yesus di Perjanjian Baru memiliki sikap yang sama, yaitu kepedulian dengan berlaku ramah kepada setiap orang asing. Keramahan kepada orang-orang asing wajib dilakukan dengan sebagaimana umat kepada Kristus sendiri. Pada pihak lain umat Kristen disebut juga sebagai “xenos” dalam makna rohaniah, yaitu mereka bukan bagian dari dunia ini sehingga tidak mengikuti praktik dunia yang bermusuhan dengan Allah. Di Surat 1 Petrus 2:11, sikap Rasul Petrus terhadap umat percaya sebagai xenos, yaitu: “Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa.”

Kesaksian Injil Lukas 7:1-10 juga menunjuk pada keberadaan kaum xenos, yaitu perwira bangsa Romawi. Lukas 7:2 mencatat: “Di situ ada seorang perwira yang mempunyai seorang hamba, yang sangat dihargainya. Hamba itu sedang sakit keras dan hampir mati.” Perwira bangsa Romawi adalah xenos, namun ia memiliki sikap kasih dan peduli kepada hambanya yang sedang sakit keras dan hampir mati. Pernyataan tentang hamba “yang sangat dihargainya” berasal dari kata entimos. Makna kata entimos dipakai di 1 Petrus 2:4, yaitu: “Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah.” Karena itu makna entimos menunjuk kepada pribadi yang melakukan hal-hal yang luhur dan mulia. Jika demikian perwira Romawi yang adalah xenos mampu menghargai perilaku dan tindakan bawahannya yang telah berlaku entimos kepadanya. Ini berarti perwira Romawi yang berstatus sebagai xenos adalah orang yang juga memiliki jiwa entimos, yaitu sikap dan perilaku yang luhur. Salah satu tindakan perwira Romawi yang berlaku entimos adalah sikap dia yang peduli dan mengasihi umat Israel dengan menanggung pembangunan sinagoge. Lukas 7:4-5 menyatakan: “Ia layak Engkau tolong, sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami.”

Dalam percakapan dengan Yesus perwira Romawi tersebut menunjukkan sikap kerendahan hatinya yang begitu mengagumkan. Dia merasa dirinya tidak layak menerima Yesus di dalam rumahnya sehingga ia berkata: “Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku” (Luk. 7:6). Walau dia adalah seorang perwira yang terhormat namun ia menganggap dirinya sebagai seorang bawahan. Ia berkata: “Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya” (Luk. 7:8). Sebagai seorang bawahan dia merasa cukup jikalau Yesus berkata “lakukanlah sesuatu” dan dia akan menaati-Nya. Perwira Romawi tersebut memerlihatkan kerendahan hati, sikap tidak menonjolkan jabatan atau kekuasaan yang ia miliki, dan menempatkan diri sebagai pribadi yang siap melakukan semua hal yang diperintahkan Yesus. Karena itu entimos yang dimiliki perwira Romawi tersebut membuat Yesus bersikap kagum sehingga Ia berkata: “Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!” (Luk. 7:9). Jadi seorang asing (xenos) tidak senantiasa identik dengan orang-orang yang kurang beradab, kasar, sombong, bersikap sewenang-wenang, kikir, tidak memiliki kemurahan hati, dan tidak memiliki belas-kasihan. Sebaliknya sikap perwira Romawi (xenos) memiliki kualitas entimos yang mengagumkan.

Keramahan dan kepedulian terhadap setiap orang asing seharusnya kita lakukan dengan tulus dan sepenuh hati sebagaimana sikap kita kepada Kristus, karena di dalam Kristus Allah telah menebus setiap umat dengan darah Anak-Nya. Namun keramahan dan kepedulian kita terhadap setiap orang asing tidak berarti kita kehilangan kewaspadaan. Kita menjumpai orang-orang asing yang memperalat ketulusan umat percaya untuk terlibat dalam kejahatan, misal: membawa narkoba, penipuan dengan berbagi modus, dan human-trafficking. Realita yang menyedihkan dan memprihatinkan tersebut tidak boleh membuat kita lengah namun juga tidak boleh membuat kita berhenti mengasihi dan berlaku ramah kepada setiap orang tanpa terkecuali.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono