Latest Article
Kerangka Dasar Liturgi Minggu GKI

Kerangka Dasar Liturgi Minggu GKI

Ordo Dasar

Sejak zaman rasul-rasul hingga sekarang, gereja mengenal satu ordo dasar (kerangka dasar) liturgi minggu yang terdiri dari empat langkah, yaitu Berhimpun (Gathering) – Pelayanan Firman – Pelayanan Meja – Pengutusan. Istilah-istilah ini dipilih untuk menunjukkan dinamika jemaat dalam berliturgi: liturgi adalah kata kerja, suatu aksi.  Umat datang, mengalami pelayanan dan sesudahnya pergi karena diutus. Liturgi mengalir lancar dan dinamis sejak awal sampai kepada pengutusan. Memenuhi undangan Allah, umat datang berhimpun lalu membentuk persekutuan untuk merayakan keselamatannya. Di hadapan Allah, umat menyadari dan mengakui keadaannya yang berdosa dan menerima anugerah pengampunan dengan rasa syukur dan sukacita. Rekonsiliasi ini memungkinkan dialog: umat mendengarkan dan menanggapi Firman Allah dengan perkataan dan perbuatan.Pelayanan Firman mengantar ke Pelayanan Persembahan: umat merespons dengan membawa persembahan syukur.  Kemudian umat diberkati dan diutusuntuk melanjutkan pelayanan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagian-bagian pokok dari ordo adalah Pelayanan Firman dan Pelayanan Persembahan/ Meja (bd. Kis 6:2). Peralihan dari Pelayanan Firman ke Pelayanan Persembahan/ Meja ditandai peralihan dari pewartaan kepada pengucapan syukur, dari kegiatan mendengarkan kepada berbuat, dari orientasi menerima kepada memberi, dari wilayah kognitif, individual dan obyektif kepada wilayah yang cenderung afektif, kolektif dan subyektif. Bagian awal dan akhir liturgi yang mengapit kedua bagian pokok ordo ini, yaitu Berhimpun dan Pengutusan harus selalu dengan jelas mengaitkan ibadah hari Minggu dengan pelayanan sehari-hari.

Ordo ini mempersatukan gereja segala abad dan tempat. Menurut Gregory Dix, ” Gereja telah menemukan dalam liturgi suatu rangkuman yang padat dan lengkap dari Injil sebelum keempat kitab Injil ditulis.” Sejak awal gereja tetap memegangordo ini, walaupun  ada masa di mana ordo ini sulit dikenali, karena tertutup berbagai variasi dan ritual tambahan. Sekarang pun kita melihat, bahwa walaupun gereja-gereja – termasuk jemaat-jemaat GKI – menggunakan ordo yang sama, tradisi-tradisi lokal telah mewarnai liturgi ini sehingga mempunyai kekhasan masing-masing. Konvergensi liturgi bukanlah penyeragaman, melainkan merayakan hal yang sama dengan ekspresi konstekstual. Di samping menyarankan penggunaan ordo oikumenis yang sama, pertemuan komisi Faith and Order menganjurkan pertukaran teks-teks liturgi  secara oikumenis, sehingga kesaksian dan pergumulan gereja-gereja lokal bergema di seluruh dunia. Teks yang dipilih hendaknya berlatar belakang Alkitab dan tradisi-tradisi penting gereja.

Hal penyeragaman telah banyak dibahas di GKI. Di satu pihak diinginkan satu liturgi yang berlaku di seluruh GKI, sedangkan di pihak lain, GKI ingin variasi dalam liturgi. Dalam Sidang Sinode Am IV GKI (ps 27.I, III.2, IV.5, V), dinyatakan bahwa perhatian harus lebih dipusatkan kepada peranan GKI dalam kesatuan bangsa dan hubungan oikumenis lingkup nasional, jadi antara lain tidak lagi pada “usaha-usaha penyeragaman-penyeragaman seperti dalam bidang liturgi, nyanyian gereja ….”

Dalam Sidang Sinode Am V GKI tahun 1980 dibahas “ketidakpuasan akan urutan unsur-unsur dalam liturgi yang terasa mengganggu karena tidak logis.” Penggunaan ordo dasar tersebut di atas memungkinkan susunan liturgi yang sederhana, sebagaimana diharapkan dalam Sidang Sinode Am III GKI tahun 1971, bahkan menonjolkan makna dan hubungan setiap bagian, sehingga tidak sulit dihayati oleh seluruh jemaat. Dalam suatu survei yang dilakukan di GKI tahun 2001, ternyata bahwa pemahaman makna liturgi penting bagi jemaat. Bentuk sederhana tetapi bermakna ini mendukung fungsi pastoral dari liturgi. Berdasarkanordo ini setiap jemaat dapat meramu sendiri liturgi hari Minggunya sesuai kebutuhan, tradisi dan kultur setempat. Dengan demikian polanya masih dapat dikenali sehingga tidak terasa asing, namun cukup bervariasi sehingga tidak membosankan.

Keinginan akan variasi dalam liturgi sudah mulai dibicarakan  dalam sidang sinode Am GKI tahun 1971, dan dalam lampiran akta sidang Sinode Am 1980 tercantum anggaran biaya untuk menyusun dan menerbitkan liturgi-liturgi variasi. Dalam tahun 1984 dipilih satu liturgi untuk kebaktian minggu, sedangkan untuk hari-hari raya dan khusus “dileluasakan mempergunakan liturgi lain.”  Berdasarkan masukan dari jemaat-jemaat, sidang Sinode Am GKI 1988 memutuskan bahwa tiap jemaat dapat menentukan sendiri tempat nyanyian persembahan, apakah sebelum, selama atau sesudah kolekte. Formulir Sakramen dan Pernikahan yang diberlakukan tahun 1993 pun telah disusun dengan memanfaatkan unsur-unsur gereja-gereja se-dunia. Jadi, selalu ada kemungkinan untuk menggunakan kekayaan gereja segala abad dan tempat untuk mengembangkan variasi yang berbobot. Karena turut dalam gerakan liturgi oikumenis, GKI pun tidak perlu ragu-ragu meminjam doa-doa dan nyanyian-nyanyian yang relevan dari gereja-gereja lain, asalkan tetap menggunakan ordo yang sama.

Karakteristik Ordo

      Ada beberapa karakteristik yang menentukan susunan ordo liturgi kita. Pertama: seperti telah disinggung terlebih dahulu, liturgi merupakan aliran dinamis. Umat yang datang berhimpun, mengikuti Pelayanan Firman dan Pelayanan Persembahan/ Meja, lalu diutus, suatu aliran yang menghubungkan kehidupan sehari-hari dengan kebaktian hari Minggu. Ada pergerakan yang jelas dari awal hingga akhir, suatu kisah yang dialami sendiri oleh umat yang beribadah. Kisah  keselamatan yang dimulai dari awal kejadian hingga akhir zaman, dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sejalan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kedua: liturgi hari Minggu adalah ibadah komunal – pertemuan berjemaah – maka harus dirancang sebagai persekutuan yang memungkinkan semua anggota berpartisipasi secara lahir-batin. Setiap anggota jemaat harus menyadari perannya sebagai anggota tubuh Kristus. Liturgi hari Minggu tidak dimaksudkan untuk devosi pribadi, walaupun memang ada kesempatan untuk menghayati ibadah secara pribadi; seperti pada waktu hening setelah kotbah. Untuk memenuhi kebutuhan umat, sebaiknya gereja menyediakan kesempatan dan  materi untuk devosi pribadi di luar kebaktian hari Minggu, karena ibadah komunal dan devosi pribadi mempunyai hubungan yang saling menunjang.

Ketiga: liturgi hari Minggu bersifat dialogis. Dimensi vertikalnya berupa dua arah: antara Allah dan umat-Nya (katabatis) dan dari umat kepada Allah-nya (anabatis). Kedua arah komunikasi ini harus ada secara seimbang dalam liturgi: Allah berfirman – manusia mendengarkan; dan manusia berdoa – Allah mendengarkan. Liturgi ini berorientasi trinitarian, dalam bentuk pujian, ungkapan syukur dan permohonan bimbingan kepada Allah Bapa, Sang  Pencipta dan Pemelihara; Allah Anak, Sang Penyelamat dan Allah Roh Kudus, Sang Penolong. Kepada dimensi vertikal ini  ditambahkan dimensi horisontal yaitu  komunikasi antar anggota jemaat (diabatis). Semua ini dicerminkan dalam teks yang dibaca atau dinyanyikan bersahut-sahutan. Selain lisan, komunikasi juga dapat diekspresikan dalam gerakan seperti menyembah, berlutut, berdiri, bersalaman, bergandengan. Misalnya, votum dan salam adalah bentuk komunikasi horisontal yang sebaiknya selalu menggunakan teks singkat yang sama agar dapat dihafalkan dan diucapkan secara spontan: pelayan  mengucapkan teks votum, umat mengaminkan; pelayan memberi  salam, umat membalas salam itu.

Keempat, liturgi adalah anamnesis. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “pengenangan,” namun makna sebenarnya lebih dalam, yaitu menghadirkan peristiwa tertentu, dalam hal ini seluruh peristiwa keselamatan oleh Kristus.  Setiap hari Minggu, orang Kristen menghadirkan peristiwa keselamatan, yang senantiasa berlaku, dulu, sekarang, di masa depan dan merayakan syukur atasnya.  Misteri (Yun.: mysterion; sesuatu yang sulit dipahami) keselamatan itu diekspresikan dalam liturgi secara simbolis. Agar simbol itu tidak dipermiskin menjadi tanda belaka, maka liturgi harus berlangsung dalam iman dan dengan pertolongan Roh Kudus.

Karena itu, kelima, liturgi adalah simbolis. Perjumpaan manusia dengan Allah dalam kenyataan sesungguhnya berlangsung sehari-hari. Umat mengungkapkan kenyataan itu dalam simbol yang menjadi tanda bagi realitas dibaliknya (bd. 1Kor 13:12). Liturgi adalah perayaan keselamatan yang mencakup alam semesta dan seluruh sejarah, dalam persekutuan dengan sesama dan Allah. Karena kita masih hidup dalam penantian sebelum dipersatukan dengan gereja segala abad dan tempat dalam Kerajaan Allah, maka gereja di dunia hanya dapat mengungkapkan dan menghadirkan apa yang diimaninya melalui simbol. Dalam Pelayanan Firman nampaklah bagi orang percaya komunikasi katabatis, dalam warna liturgi terlihat perjalanan sejarah keselamatan, dan dalam perhimpunan jemaat nyatalah perayaan pesta kawin Anakdomba dalam kitab Wahyu, di mana tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, suku dan bangsa.

Pengenalan ordo dan karakteristiknya sangat perlu bagi GKI yang terdiri dari jemaat-jemaat pedesaan maupun perkotaan, dan yang terutama di kota-kota besar cenderung pluralistik. Jemaat-jemaat GKI dianugerahi potensi kultural yang sangat kaya yang perlu dihargai, digali dan dikembangkan sebagai ekspresi asli dan lokal dari ordo yang sama. Pola Firman – Meja harus jelas, selanjutnya setiap jemaat harus menemukan sendiri bentuk yang komunikatif dan relevan bagi anggota masing-masing. Bila liturgi dibuat sederhana, janganlah bagian-bagian hakiki dihilangkan; bila dibuat kaya dan meriah, jangan sampai ordo tertutup oleh bagian-bagian yang tidak hakiki. Penjelasan susunan ordo dalam bagian-bagian berikut didasarkan pada pendekatan oikumenis – yaitu mengakui adanya kebedaan namun berpangkal pada persekutuan gereja-gereja – yang dapat dipakai sebagai pedoman berliturgi bagi setiap jemaat GKI.

Berhimpun

Dalam Liturgi Berhimpun, yaitu suatu liturgi pembuka yang berfungsi untuk mempersiapkan anggota-anggota jemaat membentuk persekutuan, menghadap dan menyadari kehadiran Allah, dan dipersiapkan untuk mengikuti liturgi Firman dan liturgi Meja. Liturgi berhimpun merupakan suatu naratif. Penataan bagian liturgi ini harus lancar membawa umat kepada pengalaman perjumpaan dengan Allah. Pada umumnya ada tiga langkah: datang ke hadapan Tuhan, mengakui keadaan diri yang berdosa, dan menerima berita pengampunan dari Tuhan. Terdapat banyak cara meriah atau pun khidmat untuk mengungkapkannya, seperti bersalaman, menyerukan panggilan beribadah, memuji Tuhan, dengan bernyanyi, berdoa, membaca teks bersama-sama, bersahutan maupun sendiri.

Biasanya Liturgi Minggu dimulai dengan prosesi atau introitus (antre: masuk beriringan). Prosesi itu harus dipahami sebagai prosesi umat yang datang berhimpun untuk menghadap Allah, walaupun dalam praktek, hanya para pelayan liturgi yang berarakan  memasuki ruangan ibadah. Itulah sebabnya selama prosesi, umat berdiri sebagai  tanda ikut berprosesi bersama para pelayan liturgi. Pada dasarnya umat tidak menyambut para pelayan liturgi. Umat menyambut  Alkitab sebagai kehadiran Kristus sebagai Firman. Dalam perarakan tersebut, pembawa Alkitab berjalan paling dahulu, disusul oleh pelayan liturgi, pelayan Firman, pelayan persembahan, dan lainnya bila ada, serta anggota jemaat – jika disertakan dalam prosesi.

Di kebanyakan gereja sekarang, umat berarakan sambil bernyanyi. Nyanyian harus dipilih sehingga membentuk suasana dinamis, hangat dan bersukacita, dengan irama yang cocok untuk benar-benar dinyanyikan dalam arak-arakan. Nyanyian prosesi berfungsi  membentuk suasana persekutuan, sebab itu jangan terlalu pendek atau terlalu sedikit.

Perarakan sukacita juga  mengingatkan pada segi eskatologis dari ibadah, yaitu pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah. Seperti dahulu umat percaya datang berhimpun dan memasuki Yerusalem untuk beribadah, demikianlah kita berarak menuju Yerusalem Baru.

Bila Liturgi Minggu dimulai dengan prosesi, hendaknya arak-arakan memasuki ruang kebaktian melalui pintu masuk utama. Bila keadaan ruangan tidak memungkinkannya, yaitu bila jarak pintu ke mimbar terlalu dekat, maka bisa juga para pelayan liturgi sudah hadir dalam ruang kebaktian dan turut bernyanyi ketika umat menyanyikan nyanyian prosesi atau introitus sampai terbentuk suasana persatuan. Nyanyian introitus juga menyiapkan umat memasuki tema ibadah. Setelah itu Penatua yang bertugas menyerahkan Alkitab kepada pelayan Firman. Setelah prosesi berakhir, pelayan liturgi mengucapkan votum yaitu pernyataan bahwa pertemuan ibadah berlangsung “dalam nama Tuhan” (Kol 3:17). Bukan manusia yang berinisiatif melainkan Tuhan.

Sesuai fungsinya, votum adalah pernyataan pendek yang tidak perlu diperpanjang atau diperindah, diucapkan dengan nada biasa seperti dalam percakapan sehari-hari. Jemaat pun berdiri biasa dan memandang kepada pelayan liturgi, karena kata-kata itu adalah pernyataan yang diyakini bersama. Tidak usah menunduk karena votum bukan doa atau pun berkat. Pernyataan votum itu dibenarkan dan disambut umat dengan mengucapkan atau menyanyikan Amin (KJ 476-478; NKB 226-229). Setelah votum, ketika umat masih berdiri atau pun sudah duduk, pelayan liturgi menyampaikan salamnya kepada hadirin. Salam dari pelayan liturgi: “Tuhan besertamu” atau “Tuhan beserta kita”  dijawab oleh umat dengan salam pula: “dan besertamu juga” atau “sekarang dan selamanya.” Sebagai Nas Pembimbing kebaktian, seorang pelayan liturgi dapat mengacu pada ayat Alkitab. Nas Pembimbing harus sesuai dengan bacaan dan kotbah hari itu. Nas Pembimbing yang dipilih harus singkat dan tidak perlu dijelaskan. Nyanyian sambutan dapat disesuai dengan nas pembimbing.

Setelah suasana persekutuan terbentuk dan hati jemaat terarah kepada Allah melalui nyanyian dan nas pembimbing, bangkitlah  kesadaran akan kekudusan dan kemuliaan Allah dan kekurangan manusia di hadapan-Nya. Akan tetapi Allah yang maha pengampun memberikan Anak-Nya yang tunggal agar yang percaya memperoleh hidup yang kekal. Kesadaran ini mendorong kepada respons berupa pengakuan umat akan keadaannya yang berdosa dan terbatas di hadapan Tuhan dan permohonan untuk dikasihani, dengan sikap pemungut cukai dalam Luk 18:13. Pengampunan dari Allah merupakan berita anugerah yang setiap hari Minggu diwartakan setelah pengakuan dosa, yang di tanggapi jemaat dengan memuji kemuliaan Allah.

Doa pengakuan dosa terutama bersifat komunal, walaupun ada pelayan liturgi yang memberi kesempatan kepada umat untuk mengaku dosa secara pribadi. Doa ini lebih luas daripada hanya berkenaan dengan dosa dan kesalahan saja, yaitu mencakup segala keterbatasan, kelemahan, kepapaan, ketidak-sempurnaan manusia di hadapan Tuhan. Doa ini dapat disusun sendiri dan diucapkan pelayan liturgi, atau diambil dari nyanyian atau Mazmur yang sesuai dan dinyanyikan atau diucapkan umat. Pengakuan dosa langsung disusul dengan penyampaian berita anugerah(ordinarium) yang ditanggapi jemaat dengan nyanyian pujian syukur. Sebaiknya berita anugerah itu singkat dan jelas misalnya: “Allah telah mengampuni dosa-dosa saudara” yang bila perlu dapat disertai ayat yang sebaiknya sesuai tema hari itu.

Sebagai alternatif yang sesuai liturgi oikumenis, bagian ini dapat  diperkaya dengan nyanyian Kyrie-Gloria, misalnya dengan menyelingi atau mengakhiri bagian-bagian doa pengakuan dosa dengan nyanyian Kyrie Eleison (Tuhan Kasihanilah: KJ 42-44; NKB 29; Pelengkap KJ 48-50, 306). Berita anugerah langsung disambut nyanyian Gloria (Kemuliaan bagi Tritunggal: KJ 45-48; NKB 31, 54; Pelengkap KJ 51, 304) dengan suka cita dan berdiri. Hendaknya kedua nyanyian ini dinyanyikan tanpa instruksi pendahulu oleh pemimpin liturgi. Lazimnya, Gloria tidak dinyanyikan pada masa Adven dan masa Prapaska. Setelah berita anugerah, jemaat siap masuk untuk Pelayanan Firman.

Petunjuk hidup baru dibacakan setelah berita anugerah. Setelah pembacaan petunjuk hidup baru, umat dapat menyanyikan  nyanyian kesanggupan. Dalam kenyataan petunjuk hidup baru tersebut mudah terlupakan setelah mendengarkan pembacaan Alkitab dan kotbah. Karena itu ayat-ayat yang dipilih hendaknya mendukung tema dan dapat diambil dari salah satu bacaan leksionari, terutama Surat Rasuli. Lagi pula, sedapat mungkin kita tidak berlama-lama di bagian persiapan ini dengan bernyanyi di antara setiap teks bacaan liturgi. Setelah menerima berita anugerah, Pelayanan Firman dapat langsung dimulai.

Pelayanan Firman

Bila dalam Liturgi Berhimpun jemaat berada dalam suatu pergerakan menuju ke hadapan Allah, maka dalam Pelayanan Firman atau Liturgi Firman, umat berdiam di hadirat Tuhan. Kegiatan utama di sini adalah komunikasi: Allah berbicara melalui Alkitab dan umat menanggapi. Dalam Pelayanan Firman, Kristus, Firman Hidup itu sendiri hadir. Dalam Pelayanan Firman, Kisah Keselamatan diceritakan, dikenang, diproklamasikan, dinyanyikan dan diutuskan agar umat menjalankan cerita itu dalam kehidupan sesehari. Inti Pelayanan Firman adalah Kisah itu sendiri: kisah Allah yang berkarya dalam sejarah menuju penyelamatan ciptaan. Pembacaan Alkitab dan kotbah harus bersama-sama memimpin umat kepada respons dalam bentuk doa syafaat, pengakuan iman, dan nyanyian.”

Pelayanan Firman terdiri dari dua bagian utama: pembacaan Alkitab serta pewartaan Yesus Kristus yang tersalib dan bangkit sebagai sumber dan dasar kehidupan dalam anugerah Tuhan. Pembacaan Alkitab yang dibaca sebaiknya sesuai dengan leksionari (lectionarium) atau daftar bacaan hari itu. Menurut tradisi gereja, Pembacaan Kitab Perjanjian Lama  ditanggapi oleh jemaat dengan Mazmur yang sesuai, yang dibaca atau dinyanyikan secara responsoris atau alternatim. Kitab Perjanjian Lama maupun Kitab Perjanjian Baru dibaca kedua-duanya, karena mengkomunikasikan Kisah dan ajaran sejak awal penciptaan dan memberi identitas kepada gereja. Melalui kotbah, orang Kristen mengartikan bagi dirinya pengalaman yang sama seperti yang dialami Israel dan Gereja Perdana: belenggu, pembebasan, harapan, inkarnasi, penyaliban, kebangkitan dan misi. Seperti dilakukan orang Israel, kelangsungan gereja tergantung dari penguatan memori-memori dan harapan-harapan tersebut serta kemampuan memahami dan melihat perjalanan sejarah umat yang berkaitan dengan masa depan. Khotbah atau homili merupakan unsur kunci untuk menjelaskan Firman Tuhan, sejarah keselamatan dan pengajaran Gereja yang harus dikomunikasikan secara mendalam, terbuka dan kontekstual.

Sebelum pembacaan Alkitab, dinaikkan doa pemberitaan Firman, yaitu permohonan akan pertolongan Roh Kudus, agar Firman Hidup dapat dimengerti umat. Umat menanggapi bacaan-bacaan Alkitab dengan aklamasi  tertentu. Lazimnya, pembacaan Alkitab disambut secara meriah oleh umat dengan nyanyian peralihan (graduale) yang bersifat ordinariumHaleluya (KJ 472-473; NKB 222-225), yang dinyanyikan sebelum khotbah. Selama minggu-minggu Advent dan Prapaska, Haleluya digantikan dengan mengucapkan teks lain atau menyanyikanHosana (KM 199) , atau Maranata. Dalam hal ini, jemaat dapat menyambut bacaan itu dengan nyanyian Haleluya, Hosana atau Maranata. Setelah sambutan ini, kotbah atau homili disampaikan. Agar kotbah itu diresapi oleh umat, hendaknya liturgi tidak segera  dilanjutkan dengan unsur lain. Berilah kesempatan kepada umat untuk hening beberapa menit. Sebaiknya waktu hening ini tidak diisi dengan bunyi-bunyian.

Pembacaan Alkitab dan khotbah diikuti dengan respons umat berupaPengakuan Iman (credo) yang merupakan suatu pernyataan bersama, bukan doa. Pengakuan iman sebaiknya diucapkan seperti mengatakannya kepada dunia, dengan mata terbuka dan kepala tegak namun tidak perlu seperti dalam suatu upacara resmi.

Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel diterima oleh gereja-gereja sebagai pengakuan iman oikumenis karena doktrin-doktrinnya dapat diterima oleh kebanyakan gereja secara konsensus. Pengakuan Iman Rasuli lazim dihayati sebagai pengulangan pengakuan percaya pada waktu menerima baptisan. Namun, karena Pengakuan Iman Rasuli lebih mudah dihafalkan, maka Pengakuan Iman inilah yang lebih sering digunakan dalam setiap liturgi ketimbang Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Dalam kerangka demikian, hendaklah Pengakuan Iman Rasuli dipahami juga sebagai pengakuan oikumenis.

Bentuk-bentuk respons lain terhadap pembacaan Alkitab dan kotbah adalah doa syafaat dan kolekte untuk keperluan diakonia. Doa syafaat adalah karya umat, jadi lebih baik dilakukan secara partisipatif.

Pelayanan Meja

Pelayanan Persembahan/ Meja atau Liturgi Persembahan/ Meja terdiri dari dua komponen utama: pengucapan syukur dan komuni, yaitu makan – minum bersama dari roti dan cawan pengucapan syukur. Baik pengucapan syukur maupun komuni, keduanya mengarahkan umat kepada misi. Pelayanan Persembahan/ Meja adalah respons gereja terhadap pemberitaan firman. Dalam tradisi Gereja Perdana dan kemudian gereja oikumenis, Liturgi Persembahan/ Meja selengkapnya terdiri dari persembahan dan perjamuan Kudus. GKI tidak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu, maka dari Liturgi Persembahan/ Meja tinggal bagian persembahan dalam makna terbatas, karena tidak dikonsumsi bersama. Tanpa Liturgi Perjamuan Kudus, sebenarnya kebaktian Minggu tidak lengkap, karena liturgi Minggu merupakan perayaan Kristus dan karya-Nya. Komisi Faith and Order Dewan Gereja-Gereja se-Dunia pun menyarankan agar gereja-gereja merayakan Liturgi Meja setiap hari Minggu dan perayaan Kristen yang sesuai.

Pengumpulan persembahan yang mengawali Liturgi Persembahan/ Meja sifatnya praktis, yaitu merupakan persiapan untuk pengucapan syukur dan komuni.

Pengutusan

Liturgi Pengutusan dapat dilayankan dari meja perjamuan atau dari mimbar, tergantung apakah yang dilayankan adalah Liturgi Meja atau Liturgi Persembahan saja. Bagian ordo yang sangat singkat ini mengutus jemaat untuk pergi melayani sebagai saksi Kristus dan Kerajaan Allah  dengan memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan sebagaimana dikehendaki Allah. Bagian ini menghubungkan ibadah jemaat yang berbentuk perayaan dengan ibadah yang berbentuk  pelayanan dalam kehidupan sehari-hari. Gereja Orthodox menyebutnya “the liturgy after the Liturgy.” Kita diingatkan bahwa tugas utama kita adalah di dunia sesehari, bukan di dunia simbol dalam perayaan ibadah di gereja. Setelah kebaktian berakhir, jemaat jangan berlama-lama lagi menikmati berbagai hal, melainkan segera keluar untuk melakukan ibadahnya dalam kehidupan nyata. Oleh sebab itu, unsur inti dari bagian ini adalah pengutusan atau misa. Katamisa berasal dari kalimat pernyataan bubar oleh Imam dalam tradisi Roma: “Ite missa est!” (“Pergilah, anda diutus!”) Kalimat ini telah disesuaikan dengan konteks sekarang sehingga dapat lebih jelas dimengerti: “Perayaan ibadah kita telah selesai, maka ” Pengutusan umat ini disertai dengan berkat Tuhan (NKB 221) yang diterima jemaat dengan berdiri.

Pelayan liturgi tidak mempunyai berkat, berkat datang dari Tuhan. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin, sang pelayan memohonkan berkat Tuhan bagi umat dan gereja-Nya dengan tangan terbuka ke atas. Berkat dari Tuhan yang disampaikan melalui mulut pelayan liturgi itu disambut dengan nyanyian ordinarium Haleluya(KJ 472-473; NKB 222-223; Pelengkap KJ 295-297; Iskandar hlm 133), Amin (KJ 476-478; NKB 227-229; Pelengkap KJ 292-294; Iskandar hlm 134), atau Haleluya-Amin (NKB 224-226).

Teks Berkat dan Pengutusan harus sesuai dengan ilham pelayanan yang timbul dari liturgi hari itu dan mengingatkan campur tangan Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Walaupun singkat sekali, pengalaman afektif dalam Liturgi Pengutusan penting. Berkat harus dirasakan sebagai kehadiran Tuhan yang memberdayakan dan mendorong keinginan untuk hidup terus dalam hadirat Tuhan, baik dalam bentuk kebaktian maupun pelayanan.  Liturgi Pengutusan dapat diperkaya dengan nyanyian, penyerahan jemaat ke dalam misi Kristus (Benediction), yang dapat berbentuk doa maupun dialog.

(Disadur dari Konsep Pedoman Liturgi GKI)

Leave a Reply